Reflexi 5 tahun Kepemimpinan Hj. Ida Fauziyah di Kemnaker
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dibawah komando Hj. Ida Fauziyah sejak tahun 2019 hingga 2023 ini banyak mengalami kemajuan dibidang ketenagakerjaan. Meskipun saat itu Indonesia mengalami kasus Covid 19 selama tiga tahun lebih namun penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) masih bergairah dan pembangunan infrastruktur sarana dan prasana Balai Latihan Kerja Komunitas (BLKK) yang telah dibangun di seluruh Provinsi Indonesia selama 4 tahun ini. Data yang kami peroleh bahwa jumlah pembangunan BLKK dari tahun 2017 hingga 2023 sebanyak 3.757 BLK Komunitas. Keberadaan BLK Komunitas sangat bermanfaat bagi masyarakat. Disamping itu juga dapat meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) setelah masyarakat yang menganggur yang datang ke BLKK mendapatkan pelatihan. Setelah peserta pelatihan lulus dari BLKK mereka mendapatkan Sertifikat. Untuk itu masyarakat mengharapkan kepada pemerintah dalam hal ini Kemnaker untuk program pelatihan dapat ditambah jangan hanya satu tahun sekali. Kalau bisa 5-6 dalam setahun bantuan program pelatihan di BLKK.
Kementerian Ketenagakerjaan bersyukur karena usai Covid 19 penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke negara penempatan masih bisa ditingkatkan baik kualitas dan kuantitas. Data yang diperoleh dari Kemnaker bahwa jumlah penempatan pada tahun 2021 sebanyak 72.624 Pekerja Migran Indonesia. Kemudian, tahun 2022 sebanyak 200.761 Pekerja Migran Indonesia, dan per November 2023 sebanyak 257.460 Pekerja Migran Indonesia (PMI). Para PMI tersebut ditempatkan di berbagai sektor di negara penempatan. Kedua, 61 persen jumlah penempatan PMI masih didominasi kaum perempuan yang bekerja per orangan yaitu, caregiver dan house maid. Ketiga, masih tingginya permasalahan PMI yang berangkat secara unprosedural. Dari 2.918 pengaduan per November 2023, 1.553 (81persen) adalah pengaduan unprosedural.
Kesuksesan Ida Fauziyah selaku Menteri Ketenagakerjaan dibidang Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke negara negara penempatan dan sukses membangun sarana dan prasarana BLKK di seluruh Provinsi Indonesia, tidak dibaringi dengan kesuksesan dibidang hubungan industrial.
Beragam permasalahan dibidang hubungan industrial di Kementerian Ketenagakerjaan seperti aksi aksi demo yang seringkali kita lihat di kantor Kemnaker. Juga soal kebijakan dan peraturan yang kontroversial dalam membuat kebijakan yang menurut kalangan buruh/pekerja sangat merugikan.
Setiap ada kelompok buruh/pekerja maupun gabungan serikat pekerja sosok Hj. Ida Fauziyah hampir tidak pernah muncul untuk menemui para pendemo yang datang ke kantor Kementerian Ketenagakerjaan. Hal ini sering kita lihat setiap ada aksi demo datang Menaker Ida Fauziyah selalu tidak berada ditempat. Apa alasannya Menaker, Ida Fauziyah enggan menerima para pendemo dari buruh/pekerja. Alhasil kita tidak tau alasannya. Menaker Ida Fauziyah selalu mewakili kepada pejabat lain padahal keinginan pendemo perwakilannya dapat diterima untuk diskusi. Seringkali mereka kecewa karena tidak bisa ketemu dengan sosok Kemnaker, Hj. Ida Fauziyah.
Baru- baru ini Aliansi Sejuta Buruh dan kelompok buruh/pekerja dan serikat pekerja mendatangi kantor Kementerian Ketenagakerjaan. Salah satu tuntutan dan yang utama adalah mereka mendesak pemerintah merubah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 tahun 2023 Tentang Pengupahan dan menyerukan untuk cabut Omnibuslaw dan tolak Rancangan Perubahan Peraturan Pemerintah (RPP) Nomor 36 tahun 2021. Mereka mengatakan Omnibuslaw telah memiskinkan Indonesia. Oleh karena itu harus dicabut.
Dengan menggunakan sistem Outsourcing ini, pihak perusahaan berusaha untuk menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Pemerintah sebagai penyelenggara pembangunan berkewajiban untuk memfasilitasi setiap warga negaranya agar dapat bekerja dalam rangka meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya, dan harus dilakukan seoptimal mungkin. Dengan demikian hak setiap warga negara dalam memperoleh pekerjaan dapat terpenuhi. Artinya Indonesia dituntut untuk melakukan perencanaan tehadap hal tersebut untuk menyediakan lapangan pekerjaan agar terciptanya kesadaran atas kewajiban suatu negara.
Akan tetapi faktanya, sampai dengan saat ini di Indonesia lapangan pekerjaan sangat terbatas. Karena Indonesia belum mampu menyediakan pekerjaan seperti yang diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 sehingga secara ekonomi masyarakat Indonesia banyak memperihatinkan.
Pada dasarnya lemahnya perlindungan hukum bagi buruh/pekerja dapat terlihat dari problematika Outsourcing (Ali Daya) yang akhir-akhir ini menjadi isu nasional yang aktual. Problematika Outsourcing (Ali Daya) memang cukup bervariasi seiring akselerasi penggunaannya yang semakin marak dalam dunia usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur Outsourcing yang telah berjalan ditengah kehidupan ekonomi dengan hegemoni kapitalisme financial yang beroperasi melalui ‘dis-solution subject” yang tidak memandang buruh/pekerja sebagai subjek produksi yang patut dilindungi, melainkan sebagai obyek yang bisa di eksploitas.
Menurut Serikat Pekerja pasca dilegalkannya sistem Outsourcing yang banyak menuai kontroversi, pemerintah justru mereduksi tanggungjawabnya dalam memberikan perlindungan hukum bagi buruh/pekerja. Kebijakan dibidang ketenagakerjaan (employment policy) baik pada tingkat lokal maupun nasional dirasakan kurang mengarah pada upaya-upaya proteksi (social protection). Employment Policy justru mengarah pada upaya menjadikan buruh/pekerja sebagai bagian dari mekanisme pasar dan kompeten produksi yang memiliki nilai jual (terkait upah murah) untuk para investor.
Dalam konteks ini pemerintah harus segera mencari solusi bagaimana meminimalisir dampak negative dari praktik Outsourcing. Karena dalam waktu yang lama telah tejadi persepsi yang keliru bahwa perusahaan termasuk perusahaan yang bergerak dibidang Outsourcing hanyalah kepentingan pengusaha dan pemilik modal saja.
Kompleksitas Outsourcing memerlukan perhatian yang seimbang antara kebutuhan akan investor dan perlindungan hukum terhadap buruh/pekerja, karena fungsi intervensi pemerintah dalam masalah ketenagakerjaan bukan sebagai instrumen nilai yang otonom dan indenpenden saja, melainkan harus tampil dalam sosoknya sebagai bagian dari upaya rekayasa sosial (law is tool of social engineering).
Bahwa peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah mengatur dan mempunyai banyak dimensi serta keterkaitan, dimana keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja sebelum, selama,dan sesudah bekerja, tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat.
Konsep PKWT dalam UU Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk mengontrak pekerja dengan jangka waktu kontrak yang fleksibel. Apakah mau mengontrak tiap bulan, tiap tahun, ataukah sekaligus lima tahun. Berbeda dengan sebelumnya yang harus melalui tiga termin kontrak, kontrak pertama, kontrak perpanjangan, dan kontrak pembaharuan.
Bahkan, dalam UU Cipta Kerja, PKWT dapat diatur sampai pekerjaan selesai dan tidak terpancang pada durasi waktu tersebut. Dalam UU Cipta Kerja juga diperbolehkan hubungan kerja PKWT dalam bentuk perjanjian kerja harian. Buruh harian ini untuk mengadopsi kemudahan prinsip no work no pay.
Kemudahan mengakhiri hubungan kerja juga dimuat dalam UU Cipta Kerja. Kini pengusaha dapat menentukan sendiri hal apa yang dapat menjadi alasan bagi pengusaha untuk melakukan PHK sesuai dengan kebutuhan masing-masing pengusaha. Asal hal tersebut dimuat dalam peraturan perusahaan atau dalam perjanjian kerja bersama.
Perlindungan bagi Buruh
Adanya pemberlakuan rezim pasar buruh yang fleksibel tersebut tentu dapat berdampak positif bagi buruh dan dapat pula berdampak negatif. Dampak positifnya adalah dapat menggoda investor untuk lebih menanamkan investasinya di Indonesia sehingga penyerapan tenaga kerja lebih banyak yang berarti akan mengurangi pengangguran yang ada. Sementara dampak negatifnya bagi buruh adalah pengurangan kesejahteraan bagi buruh tertentu serta banyaknya PHK bagi buruh yang oleh perusahaan dianggap kurang produktif.
Demi terwujudnya suatu tertib hukum dan tidak adanya saling melempar tanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak pekerja, pemerintah dalam hal ini yang berkaitan dengan bidang ketenagakerjaan, harus melakukan pengawasan secara baik, agar dapat memberikan dampak positif bagi pada tenaga kerja. Diharapkan agar lebih menjamin kepastian hukum, pemerintah bersama dengan dewan perwakilan rakyat membentuk satu undang- undang yang mengatur secara khusus terkait dengan sistem tenaga kerja Outsourcing ini.(***).