JKN dan Pembiayaan Kesehatan bagi Anak Penyandang Disabilitas

Oleh : Timboel Siregar.
Pengamat: Ketenagakerjaan.

Membicarakan isu kesehatan memang mengasyikan dan tidak akan selesai, karena kesehatan menjadi kebutuhan utama rakyat. Kesehatan menjadi salah satu indikator mengukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM) suatu negara.

Isu terkini tentang Kesehatan akan berhubungan dengan janji-janji Pemerintah di UU no. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang menjanjikan 6 Pilar Transformasi Layanan Kesehatan, yaitu Layanan Primer, Layanan Rujukan, Ketahanan Kesehatan (obat dan alat kesehatan), SDM Kesehatan, Pembiayaan Kesehatan, dan Teknologi Kesehatan.

Tidak selesai di tataran regulasi (substansi hukum), pelaksanaan 6 Pilar Transformasi Layanan Kesehatan utamanya ditentukan oleh kemauan politik Pemerintah mengimplementasikannya dengan dukungan anggaran yang layak, serta kolaborasi dengan Kementerian/Lembaga serta Pemda. Selama ini persoalan kesehatan lebih banyak dikontribusi oleh masalah struktur hukum yang kerap bekerja tidak sesuai regulasi yang memayunginya.

Hari ini Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyelenggarakan FGD dengan tema Mengurai Kebijakan Pembangunan (Pembiayaan) Kesehatan Inklusi bagi Anak Penyandang Disabilitas. FGD ini menjadi sangat penting untuk merumuskan masalah dan memberikan solusi konstruktif serta mengingatkan Pemerintahan baru untuk serius segera mengimplementasikan 6 Pilar Transformasi Layanan Kesehatan yang ada di UU Kesehatan, khususnya untuk layanan kesehatan bagi anak penyandang disabilitas. Pelaksanaan dan keberhasilan Program JKN sangat terkait erat dan ditentukan oleh pelaksanaan enam pilar transformasi layanan kesehatan tersebut.

Pembiayaan kesehatan yang selama satu dasawarsa lebih ini sudah dijalankan Program JKN oleh BPJS Kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia tentunya harus terus ditingkatkan untuk memastikan seluruh rakyat mendapatakan layanan kesehatan yang berkualitas dan layak.

Dan tentunya seluruh skema pembiayaan kesehatan seharusnya diintegrasikan ke program JKN sehingga pembiayaan JKN lebih efisien, efektif dalam skema gotong royong, yaitu pembiayaan seluruh rakyat sejak dalam kandungan hingga meninggal.

Bila ada rencana Pemerintahan baru untuk pembiayaan medical check up untuk usia lanjut yang akan dibiayai APBN hendaknya diintegrasikan saja ke program JKN supaya preventi dan kuratif bisa berkelanjutan.

Demikian juga, lahirnya Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2024 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Purna Tugas Menteri Negara yang ditandatangani Jokowi pada 15 Oktober 2024, seharusnya pembiayaan tersebut dalam payung Program JKN dengan skema koordinasi manfaat atau COB (top up) sehingga seluruh mantan menteri tersebut pun mendukung JKN, dan tidak eksklusif.

Saat ini masih ada beberapa persoalan dalam program JKN terkait kepesertaan, layanan dan fasilitas kesehatan, dan pembiayaan. Syarat penjaminan pembiayaan layanan kesehatan oleh JKN adalah kepesertaan aktif. Memang saat ini sudah lebih 98 persen rakyat Indonesia terdaftar di program JKN, namun persoalannya masih ada sekitar 50 jutaan masyarakat kita yang menyandang kepesertaan nonaktif di JKN sehingga tidak bisa dapat penjaminan JKN. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu peserta PBI (Pusat dan Daerah) banyak yang dinonaktifkan tanpa alasan dan tanpa terkonfirmasi ke peserta PBI tersebut sehingga saat ini banyak pemegang kartu KIS-PBI yang tidak bisa dijamin JKN. Demikian juga peserta mandiri (peserta klas 1, 2 dan 3) yang menunggak sehingga tidak dapat layanan JKN.

Kepesertaan aktif menjadi awal proses pembiayaan JKN. Oleh karena itu pembiayaan bagi anak penyandang disabilitas harus dimulai dari kepesertaan aktif di JKN, dimana kepesertaan si anak ditentukan dari kepesertaan orang tuanya.

Kepesertaan anak dari orang tua pekerja penerima upah ditentukan oleh kepesertaan JKN aktif orang tuanya di perusahaan atau sebagai ASN.

Kepesertaan Anak dari orang tua miskin dan tidak mampu (Peserta PBI) ditentukan oleh kepesertaan aktif orang tuanya. Bila kepesertaan PBI orangtuanya dinonaktifkan maka anaknya pun dinonaktifkan.

Demikian juga kepesertaan mandiri dalam satu Kartu Keluarga, kepesertaan nonaktif orangtuanya menyebabkan kepesertaan anaknya pun nonaktif.

Dampak dari skema kepesertaan tersebut adalah bayi dalam kandungan dari Ibu yang kepesertaan JKN nonaktif (atau belum terdaftar) pun tidak bisa dilayani JKN seperti pemeriksaan Antenatal Care yang diwajibkan pemerintah untuk memastikan kesehatan bayi dan Ibu.

Demikian juga bayi baru lahir dari Ibu yang kepesertaan JKN nonaktif (atau belum terdaftar) tidak mendapat layanan JKN sehingga bayi baru lahir yang membutuhkan NICU dengan biaya mahal tidak dijamin JKN.

Skema pembiayaan kesehatan Anak seharusnya mendapat perlakuan khusus sehingga tidak “disandera” oleh kepesertaan aktif orangtuanya.

Itu pembiayaan secara umum, tentunya harus dikritisi juga layanan kesehatan untuk Anak Penyandang Disabilitas yang memang membutuhkan layanan kesehatan yang komprehensif. Selain layanan untuk menangani gangguan fisik yang dialami, mereka juga membutuhkan perawatan serta terapi untuk mengatasi gangguan tumbuh kembangnya. Namun, layanan yang tersedia saat ini masih terbatas, baik layanan di faskes pertama, rujukan, layanan obat dan alat kesehatan, ketersediaan SDM kesehatan sampai pelosok, dsb.

Fasilitas ambulans dari rumah ke faskes (atau sebaliknya) belum bisa dinikmati peserta JKN dalam skema pembiayaan JKN, sehingga anak dengan keterbatasan fisiknya tidak dengan mudah mengakses faskes. Bagi masyarakat mampu mungkin hal tersebut tidak menjadi masalah, namun bagi orangtua miskin tentunya pembiayaan transportasi dari rumah ke faskes atau sebaliknya akan menjadi masalah. Saya berharap Pemerintahan ke depan mau merevisi Permenkes no.3 tahun 2023 dengan membiayai transportasi peserta JKN yang miskin dari rumah ke faskes atau sebaliknya.

Perawatan bagi anak dengan autisme juga dijamin JKN. Namun demikian layanan bagi autisme belum tersedia secara lengkap di fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas karena membutuhkan pendekatan multidimensi. Deteksi dini austisme sangat dibutuhkan agar dapat intervensi lebih awal. Saat ini layanan khusus autisme cuma ada di rumah sakit yang menggunakan pendekatan multidimensi. Pemerintah berkewajiban menyediakan kebutuhan anak-anak yang berkebutuhan khusus tersebut, dengan memudahkan akses untuk pembiayaan dan layanan kesehatan.

Masih banyak hal yang harus ditingkatkan, dan peningkatan tersebut harus didukung dan diselaraskan dengan 6 pilar transformasi layanan kesehatan di UU Kesehatan.

Semoga Pemerintahan baru ke depan mau menjalankan amanat Pasal 5 ayat (3) UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM, yang menyatakan Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dengan penjelasannya, yang dimaksud dengan “kelompok masyarakat yang rentan” antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.(***)