Marak PETI Dihulu Sungai Batang Hari Berdampak Pada Lingkungan Hidup Dan Dipertanyakan Oleh Tokoh Masyarakat Hilir Sungai Batang Hari Seperti Kabupaten Dharmasraya Dan Tebo

IMG-20241111-WA0001

Dharmasraya Sumatera Barat, FajarNews

Pemerintah Kabupaten Dharmasraya bersama dinas lingkungan hidup menyoalkan Maslah dampak lingkungan oleh penambang ilegal di hulu Sungai Batang Hari seperti di Solok Selatan yang marak terjadi saat ini.

Penegak hukum didaerah hulu Sungai Batang Hari tempatnya kabupaten Solok Selatan didugah lamban untuk menindak para pelaku tambang ilegal tersebut. Bisa didugah juga ada permainan tutup mata seperti petak umpet.
Pertambangan tanpa izin (PETI) yang marak terjadi di daerah tersebut baik yang di lakukan secara manual maupun menggunakan alat berat excavator khususnya pertambangan emas secara ilegal.

” Aktifitas PETI merupakan tindakan kriminal yang berdampak terhadap kerusakan ekosistem sungai mau pun darat yang berdampak terhadap kehidupan masyarakat secara luas,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup kabupaten Dharmasraya , saat dikonfirmasi diruang kerjanya,Selasa (12/11/24).

Disampaikan oleh LSM ACIA Darwin.ST.Basa,SH sebagai direktur eksekutif ormas tersebut, bila melihat kondisi alam yang ada saat ini hati serasa hancur, penambangan emas tidak hanya dilakukan di sungai bahkan didarat, semua aktivitas ilegal itu merusak ekosistem, padahal Kabupaten Solok Selatan dikenal sebagai Kabupaten Konservasi.
Salah satunya Sungai Batang Hari dan pesisir Sungai Batang Hari adalah hutan konservasi, sekarang air Sungai Batang Hari tidak dapat di konsumsi karena keruh dan sulit untuk mendapatkan ikan,bahkan ikan tersebut juga diragukan bila dikonsumsi karena sudah tercemar.

” Jangan jadi alasan pertimbangan “perut” sehingga aktifitas PETI dibiarkan, selama ini masyarakat Hulu Sungai Batang Hari bisa hidup tanpa bergantung dengan PETI,” ucap dia.
Dikatakan Direktur LSM ACIA, apabila masyarakat ingin melakukan pekerjaan tambang emas mestinya mengurus perizinan sehingga aktivitas pertambangan sesuai aturan berlaku.

Sebaiknya Pemkab setempat seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Solok Selatan harus menentukan Tata ruang agar upaya aktivitas PETI tidak semakin meluas dengan mendorong Wilayah tambang rakyat (WPR) sesuai dengan tata ruang.

“Untuk proses keluarnya izin WPR perlu di lakukan kajian ekonomi dan lingkungan dan untuk Kecamatan Sangir yang rawan sekarang oleh PETI harus dapat perhatian khusus oleh Pemkab tersebut ” Tutupnya.

Salah satu tokoh masyarakat kabupaten Tebo menanggapi kejadian ini dan sangat meragukan aparat penegak hukum yang begitu lalai dipandang masyarakat karena telah bertahun-tahun kegiatan ilegal ini dilakukan.
Dalam kesempatan itu ditambahkannya menyatakan persolan PETI bukan semata-mata terkait penegakan hukum, namun bagaiman langkah solusi semua pihak mengatasi persoalan PETI.

“Secara hukum aktivitas PETI melanggar Undang-Undang, tetapi kita bicara bukan hanya penindakan tetapi bagaimana solusinya untuk masyarakat, sebab penertiban PETI jangan sampai menimbulkan persoalan baru,” kata ungkap tokoh masyarakat Tebo yang enggan dipublikasikan namanya.
Dirinya berharap persoalan PETI merupakan tanggungjawab semua pihak sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan.”Mengatasi PETI bukan hanya tanggungjawab satu instansi saja tetapi kita semua, bagaimana solusi agar tidak muncul persoalan baru,”ucapnya lagi.

Mengacu kepada Undang-undang nomo 18 Tahun 2013 yang mengatur bahwa pelaku perusakan hutan dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar. Pasal yang mengatur hal ini adalah Pasal 94 Ayat 1 Huruf a dan atau Pasal 12 Huruf e Jo. Pasal 83 Ayat 1 Huruf b.Hutan yang dimaksud adalah pepohonan yang dirusak di pinggiran Sungai Batang Hari.
Undang-undang yang mengatur tentang pencemaran lingkungan hidup, termasuk pencemaran sungai, adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, pencemaran lingkungan hidup diartikan sebagai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Seterusnya berpedoman pada undang undang ini yaitu:

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, pencemaran lingkungan hidup diartikan sebagai masuknya zat, makhluk hidup, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia. Hal ini harus melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Selain itu, ada beberapa peraturan lain yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan hidup, yaitu:
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Peraturan ini mengatur tentang pengendalian pencemaran air pada sumber air lintas provinsi dan lintas batas negara.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang mewajibkan setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup, serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.

Pasal 374 yang mengatur bahwa setiap orang yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

Setelah berita ini diterbitkan pelaku segerah diproses sesuai perundang undangan berlaku di negara kesatuan Republik Indonesia.
(Tim investigasi media online).